Jumat, 13 Mei 2022

Menjaga Ibadah Pasca Ramadhan

Ramadhan adalah bulan penuh berkah dan ampunan bagi umat islam. Banyak amalan-amalan yang dapat dilakukan oleh seorang muslim pada bulan ramadhan. Datangnya bulan Ramadhan juga memiliki makna yang sangat besar bagi umat islam. Namun, masih ada sebagian umat islam yang belum mengetahui makna bulan Ramadhan ini. Makna bulan ramadhan bagi umat islam adalah bulan yang penuh kesabaran. Saat bulan ramadhan, umat islam diwajibkan untuk berpuasa dan menahan segala hawa nafsu, berperilaku sabar, dan tahan akan adanya ujian. Selain itu, umat islam diwajibkan untuk berpuasa menjaga mulutnya dari hal-hal yang tidak baik. Allah SWT memberikan kesempatan motivasi berkali lipat balasan pahala sebuah amal perbuatan agar mendorong manusia untuk melakukannya.

Berpuasa di bulan Ramadhan termasuk salah satu di antara rukun Islam. Maka dari itu, makna bulan Ramadhan bagi umat Islam sangat besar. Banyak keistimewaan pada bulan Ramadhan, yang membuat umat islam merasakan nikmatnya menjalani ibadah. Di bulan suci Ramadhan, umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak berdoa dan berbuat kebaikan, baik dalam konsep Hablum Minallah (hubungan manusia dengan Sang Pencipta), Hablum Minannas (hubungan antar individu) maupun Hablum Minal 'Alam (hubungan manusia dengan alam). Ketiganya saling berkesinambungan dalam mendapatkan rida Allah SWT.

Dari sekian banyaknya amal ibadah kebaikan yang terkandung kedalam ketiga konsep tersebut, ada sejumlah amalan-amalan yang disukai Allah SWT. Alangkah indahnya jika kita bisa menjalankannya, untuk meraih keistimewaan bulan ramadhan. Begitu istimewanya bulan suci ramadhan ini, bahkan hanya menantikannya saja sudah bernilai ganjaran tertebas api neraka. 

Setelah Ramadhan hanya ada dua pilihan; beruntung atau buntung (dalam ketakwaan). Faktanya bermacam-macam kondisi ketakwaan orang-orang beriman selepas mengarungi “lautan mutiara” bernama bulan Ramadhan. Esensi Ramadhan adalah momentum spesial “karantina suci” satu bulan penuh, mempersatukan jiwa-jiwa yang beriman untuk menjadi lebih unggul, dan prestasi puncaknya yaitu mmenggapa suci dari Allah SWT berupa; ketakwaan.

Identiknya suatu karantina, berkualitas atau buruknya hasil tergantung pada kemauan dan keseriusan pribadi peserta. Pasca karantina bernama Ramadhan, tentu berbeda-beda hasilnya, dari masing-masing manusia, ada yang mendapatkan hasil maksimal, ada yang sederhana.

Idul Fitri adalah awal kembali suci, setelah segala noda, dosa, dan sifat-sifat tak terpuji dibersihkan dalam ruang karantina bernama Bulan Ramadhan. Oleh karena itu, sudah semestinya manusia menjaga kesucian tersebut setelah Ramadhan usai, ditandai oleh hari Raya Idul fitri, sampai dengan datangnya Ramadhan berikutnya. Diharapkan setelah Ramadhan, ketakwaan itu kemudian melekat pada kepribadian orang-orang beriman, yang secara bergilir akan melahirkan hal-hal positif dan unsur-unsur kemanfaatan dalam kehidupan si muttaqin atau orang bertakwa. Dan di konteks inilah titik temu puncak dari ibadah puasa Ramadhan dengan ibadah-ibadah lain seperti haji, zakat dan berbagai ibadah lainnya.

Ibarat kendaraan mewah, pasca Ramadhan, manusia adalah selesai melakukan perbaikan total, yang sudah semestinya harus dijaga, agar tidak kembali rusak hanya dalam hitungan detik, setelah keluar dari bulan suci Ramadhan.

Qaidah Fiqih pun berujar: “al-umuru bi maqashidiha” (status suatu amal perbuatan itu terganggun ikhlas dan tidaknya niat). Jadi, bila kemarin-kemarin saat menjalankan ibadah puasa Ramadhan tanpa menyertakan niat yang baik untuk meningkatkan religiusitas selepas Ramadhan, untuk apa jerih payah berpuasa? Saat liburan, orang-orang cenderung melupakan dan meninggalkan aktivitas yang biasa dilakukan sehari-hari. Jika hal ini dilakukan dalam durasi waktu yang lama, bisa mengakibatkan lupa dan malas untuk memulainya kembali.

Nabi pernah mengecam dan berpesan, “Ya Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak mengerjakannya lagi.” Dalam Islam, tidak ada istilah libur untuk urusan akhirat. Allah bersabda, “Jika kamu sudah selesai dengan satu amal saleh, carilah amal shaleh yang lain.”

Ada dua aspek istiqamah dalam ketaatan yang perlu dipertahankan setelah Ramadhan, yakni:

1. Istiqamah lisan
Pertanda keistiqamahan seseorang yang paling tampak dan paling kentara adalah istiqamahnya lisan. Karena dengan lurusnya lisan maka akan ikut luruslah amalan anggota badannya. Disebutkan dalam sebuah hadis dari Abu Sa’id Al’Khudri radhiyallahu ‘anhu yang dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika waktu pagi tiba seluruh anggota badan menyatakan ketundukannya terhadap lisan dengan mengatakan, ‘Bertakwalah kepada Allah terkait dengan kami karena kami hanyalah mengikutimu. Jika engkau baik maka kami akan baik. Sebaliknya jika kamu melenceng maka kami pun akan ikut melenceng.” (HR. At-Tirmidzi)

2. Istiqamah Jawarih (Anggota Badan)
Jika hati telah tetap dalam keistiqamahan maka anggota badan lain akan mengikutinya. Anggota badan kita hendaknya dijauhkan dari segala macam kemaksiatan. Sebagaimana di bulan Ramadhan kita mampu menahan lapar padahal makanan dan minuman itu halal, maka untuk meninggalkan yang haram di luar bulan Ramadhan hendaknya kita mampu. Sebagaimana yang tersebut dalam doa yang diucapkan oleh malaikat Jibril ‘alaihissalam dan diamini oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Celakalah seorang hamba yang mendapati bulan Ramadhan kemudian Ramadhan berlalu dalam keadaan dosa-dosanya belum diampuni (oleh Allah Ta’ala )” (HR Ahmad (2/254), al-Bukhari dalam “al-Adabul mufrad” (no. 644), Ibnu Hibban (no. 907) dan al-Hakim (4/170), dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, adz-Dzahabi dan al-Albani).
Salah seorang ulama salaf berkata: “Barangsiapa yang tidak diampuni dosa-dosanya di bulan Ramadhan maka tidak akan diampuni dosa-dosanya di bulan-bulan lainnya” (Dinukil oleh imam Ibnu Rajab dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 297)).
Oleh karena itu, mohonlah dengan sungguh-sungguh kepada Allah Ta’ala agar Dia menerima amal kebaikan kita di bulan yang penuh berkah ini dan mengabulkan segala doa dan permohonan ampun kita kepada-Nya, sebagaimana sebelum datangnya bulan Ramadhan kita berdoa kepada-Nya agar Allah Ta’ala  mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan dalam keadaan hati kita kita dipenuhi dengan keimanan dan pengharapan akan ridha-Nya. Imam Mu’alla bin al-Fadhl berkata: “Dulunya (para salaf) berdoa kepada Allah Ta’ala (selama) enam bulan agar Allah mempertemukan mereka dengan bulan Ramadhan, kemudian mereka berdoa kepada-Nya (selama) enam bulan (berikutnya) agar Dia menerima (amal-amal shalih) yang mereka (kerjakan)” (Dinukil oleh imam Ibnu Rajab al-Hambali dalam kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 174)). 

Maka sebagaimana kita membutuhkan dan mengharapkan rahmat Allah Ta’ala di bulan Ramadhan, bukankah kita juga tetap membutuhkan dan mengharapkan rahmat-Nya di bulan-bulan lainnya? Bukankah kita semua termasuk dalam firman-Nya:
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيد}
“Hai manusia, kalian semua butuh kepada (rahmat) Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS Faathir: 15).

Inilah makna istiqamah yang sesungguhnya dan inilah pertanda diterimanya amal shaleh seorang hamba. Imam Ibnu Rajab berkata: “Sesungguhnya Allah jika Dia menerima amal (kebaikan) seorang hamba maka Dia akan memberi taufik kepada hamba-Nya tersebut untuk beramal shaleh setelahnya, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka (ulama salaf): Ganjaran perbuatan baik adalah (taufik dari Allah Ta’ala  untuk melakukan) perbuatan baik setelahnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikannya yang pertama (oleh Allah Ta’ala), sebagaimana barangsiapa yang mengerjakan amal kebakan, lalu dia dia mengerjakan perbuatan buruk (setelahnya), maka itu merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya amal kebaikan tersebut” (Kitab “Latha-iful ma’aarif” (hal. 311)).

Oleh karena itulah, Allah Ta’ala  mensyariatkan puasa enam hari di bulan Syawwal, yangkeutamannya sangat besar yaitu menjadikan puasa Ramadhan dan puasa enam hari di bulan Syawwal pahalanya seperti puasa setahun penuh, sebagaimana sabda Rasululah Shallallahu’alaihi Wasallam: “Barangsiapa yang berpuasa (di bulan) Ramadhan, kemudian dia mengikutkannya dengan (puasa sunnah) enam hari di bulan Syawwal, maka (dia akan mendapatkan pahala) seperti puasa setahun penuh” (HR Muslim (no. 1164)).

Di samping itu juga untuk tujuan memenuhi keinginan hamba-hamba-Nya yang shaleh dan selalu rindu untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan puasa dan ibadah-ibadah lainnya, karena mereka adalah orang-orang yang merasa gembira dengan mengerjakan ibadah puasa. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Orang yang berpuasa akan merasakan dua kegembiraan (besar): kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika dia bertemu Allah” (HR al-Bukhari (no. 7054) dan Muslim (no. 1151))



Tidak ada komentar:

Posting Komentar